Cerpen Luluk Faridah kelas X A " maafkan Aku..Bulan"




Semilir angin yang sejuk, masih mengiringi canda tawa mereka. Asyik bermain dengan awan. Bintang memang paling suka dengan permainan petak umpet. Postur tubuhnya yang kecil, membuat Bulan sulit untuk menemukannya bahkan hingga Mentari datang menggeser kedudukan Bulan menerangi bumi dengan sinarnya yang menawan.
“Duh Bintang..dimana kau berada? Aku sudah kelelahan mencarimu.

Sementara Bintang terlihat sedang tertawa kecil karena perilaku sahabatnya itu. Bulan masih mencari Bintang dari satu awan ke awan lainnya. Namun tak sampai Bulan menemukan Bintang. Mentari telah datang untuk menggantikan Bulan.
“Hai Bulan..pulanglah! Kini waktuku menyinari bumi. Istirahatlah agar nanti malam kau tidak kelelahan!”

“Hari sudah pagi ya? padahal aku masih belum menemukan Bintang” ucapnya kesal. “Itu Bintang, di balik awan yang tebal itu,” katanya sambil menunjuk sebuah awan tebal yang sejak tadi Bulan tak sampai berfikir mencari sesosok bintang di situ.

“Hmmm..akhirnya sekarang aku menemukanmu Bintang. Baaa…!!!”
Ia membuka awan itu dan betapa terkejutnya ia ketika dilihatnya Bintang tertidur dengan lelapnya. “Wahhh..pasti Bintang kelelahan,” gumamnya sambil menggendong Bintang dan membawanya pulang. Itulah Bulan dan Bintang, selalu bersama dalam suka maupun duka. Saling menyayangi dan mengasihi satu dengan yang lain. Bahkan Ibu dan Bapak Bintang telah menganggap Bulan sebagai anggota keluarga mereka sendiri. Memang itulah persahabatan, menyatukan perbedaan sehingga terbentuk kasih sayang.

***

Sayup-sayup terdengar dentangan jangkrik. Bulan telah menggantikan posisi Mentari yang sejak tadi bertugas menerangi bumi. Namun, kini terlihat berbeda. Bulan tanpak murung. Bintang menjadi heran. Apa yang membuat sahabatnya begitu bersedih?
“Bulan, ada apa? Apa ada masalah denganmu?,” tanyanya lembut.
Bulan hanya geleng-geleng kepala.
“Trus..mengapa kamu bersedih, Bulan? Ayo cerita ke aku!” lanjutnya.
Bulan mengambil nafas panjang.
“Aku memang tidak berguna” tukasnya.
“Mengapa kamu bicara seperti itu, Bulan?
“Aku bisa terlihat indah hanya dengan  pancaran sinar Mentari. Aku tidak bisa                                                         seperti ini kalau tanpa Mentari. Aku malu, Bintang. Kamu yang kecil saja bias bersinar sendiri, mengapa aku yang besar tidak bisa?” ungkapnya panjang lebar.
“Kenapa malu, Bulan. Justru kamulah yang membuat malam menjadi indah. Dengan pancaran sinar itulah kamu jauh lebih berarti pada makhluk dan kehidupan bumi ini. Coba kalau kamu bisa bersinar sendiri, pasti cahayanya akan membuat malam jadi seperti siang. Dan kalau siang terus, bintang-bintang tidak akan terlihat.Apa gunanya ada aku, Bulan?” jelas Bintang.
“Benarkah itu?” senyum Bulan mulai mengembang. Bintang mengangguk meyakinkan. Bulan memeluk Bintang dengan erat. Malam ini, makhluk bumi menyaksikan kebahagiaan mereka. Betapa indah cahaya Bulan dan Bintang dari kejauhan.

***

Seperti biasa pada pergantian tugas, Mentari menyuruh Bulan pulang dan beristirahat dengan tenang agar malamnya ia tidak kelelahan. Dan setelah tugas Mentari selesai, Bulan datang menggantikan Mentari untuk menyinari bumi. Ia sekarang lebih percaya diri walau ia bersinar hanya dengan pancaran Mentari. Bulan tampak bersemangat. Ingin rasanya sesegera mungkin bertemu Bintang, sahabatnya itu. Ya…sahabat yang mampu membangunkannya saat ia terjatuh bahkan terperosok sekalipun. Namun dirasa cukup lama Bulan menanti sahabatnya itu, Bintang tak kunjung datang. Ia tetap berdiri walau tanpa Bintang. Mencoba memutar otaknya ”Dimanakah Bintang berada? Tak seperti biasanya ia datang terlambat” 

Tak lama kemudian, ia melihat secerca cahaya yang semakin lama semakin mendekatinya. Ia mengenalinya. Ya itulah Bintang. Tapi mengapa wajahnya muram? Mengapa ia datang bersama ke dua orang tuanya? Bitang berjalan dengan lesu. Ia mencoba berbicara walau terlihat berat.
“Maafkan aku, Bulan. Aku harus pergi”
“Mengapa harus pergi?”
“Ini sudah kehendak Tuhan, Bulan”
“Pergi kemana Bintang?”
“Kami juga tidak tahu”
Bulan tanpak meneteskan air mata. Bapak dan Ibu Bintang turut bersedih melihat ke dua makhluk itu.
“Maafkan aku, Bulan. Aku tidak bisa menemanimu lagi. Aku harus pergi malam ini juga. Sekali lagi maafkan aku”
Sinarnya yang indah melesat jauh dan pergi begitu saja. Bulan hanya bisa memandangi kepergian sahabatnya itu. Makhluk di bumi terkesima melihat cahaya indah yang melesat begitu cepat itu. Padahal mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Bulan dan Bintang.

***

Bulan mencoba tetap tersenyum meski hatinya menangis. Ia mencoba tetap bersinar terang  karena ia tahu sinarnya begitu berarti bagi makhluk dan kehidupan di bumi. [Luluk Faridah-Xa]



Postingan populer dari blog ini

Inilah sosok KH. Abdul Hannan Manggisan Tanggul Jember

5 tangga menuju taqwa, pengajian Jumat sore kitab Nashaihul Ibad pondok pesantren putri As Sholchah Warungdowo

Unik dan kreatif ! Kostum gerak jalan MA As Sholchah 2019