Cerpen karya siswi MA As Sholchah



Tak Seharusnya
By: Syarifah El Madani

            Aku mencintaimu, seperti cahaya pagi yang membakar perlahan setiap nafasku yang menderu biru. Di sepasang bola matamu dunia tampak lebih teduh memeluk rapuhnya rinduku. Tapi cintaku padamu bagaikan gurun yang mengharap turunnya hujan, tumbuhnya pohon di tanah gersang, dan hujan kala kemarau. Untukmu yang  hanya memandangku sebelah mata, yang selalu kurindu kala tak bertemu. Aku mencintaimu tanpa ingin engkau tahu, karena mencintaimu hanyalah memeluk indah bayangmu. Ketika harus memilih, memilih orang yang mencintai itu terkadang lebih baik dari pada memilih yang dicinta. Inginnya dicinta malah hampa, inginnya merindu tapi tak bersatu.
            14 Maret, ketika 19 tahun menggenapi usiaku, perasaan itu juga menggenapi ruang hatiku. Bertemu dengan pemuda berjubah putih dengan balutan sorban hijau di kepalanya yang seakan membalut jiwa ini untuk bisa bersamanya. Menjadi imam dalam hidupku, sama seperti engkau menjadi imam sholat dzuhur di ma’had ini. Astaghfirullahal ‘adzim! Apa yang sedang aku pikirkan? Perasaan apa ini? Aku tidak mau jatuh dalam perasaan ini. Perasaan yang tidak harus dimiliki oleh santri biasa kepada putra seorang Kyai ‘alim yang tak sebanding  denganku.
            Raden  Hamdalah, begitulah Kyai Hasyim memberi nama puteranya 20 tahun yang lalu.  Alumni Pondok Madani Ponorogo itu telah memikat sekian banyak santri termasuk daku. Tapi aku tak berharap terlalu jauh, cukup mencintaimu dalam diam karena aku denganmu bagaikan langit dan bumi. Banyak awan putih yang lebih akrab dengan langit, sedangkan aku hanyalah bumi dengan penghamparannya hingga aku tak memiliki keberanian untuk memandang dan terbang di langit indah itu.
            Tertunduk malu, tak mau menatap wajah indah itu. Mengapa selalu baying-bayang itu? Membuiatku rindu kenangan 3 tahun yang lalu. Saat kali pertama hati ini jatuh pada seseorang yang sama-sama tidak mau mengakuinya.
“Ya Allah, kenapa harus Gus Raden yang menggantikan Pak Kyai mengisi pengajian malam jum’at ini? Aku tidak bisa menangkap ilmunya. Hanya ada wajah indah yang berkeliaran, bermain di taman hatiku. Ya Allah, jauhkan hamba dari perasaan ini.” Desahku.
            Lama aku menundukka kepala akhirnya pengajian pun berakhir. Gus Raden meninggalkan mushollah ma’had dengan gaya jalannya yang khas. Membuat kita yang melihatnya serasa ingin jalan bersanding dengannya, atau setidaknya berjalan di belakangnya. Tapi.. ah sudahlah! Lupakan Kiki!
            “Ustadzah Kiki, ustadzah diminta untuk menghadap Bu Nyai sekarang di rumahnya. Katanya beliau ada perlunya sama ustadzah”
            “Oh, iya. Terimakasih”
            “Iya ustadzah. Sama-sama”
Tok tok tok…
            “Assalamu’alaikum…”
            “Wa’alaikumsalam. Masuk, Nduk…”
            “Inggih Bu Nyai”
            “Nduk, tadi Bu Nyai kedatangan tamu yang meminta Bu Nyai mengisi pengajian rutin setiap Hari Kamis ba’da sholat ashar ke desa sebelah. Bu Nyai menolaknya tapi Bu Nyai juga menawarkan bagaimana kalau yang mengisi di pengajian itu bukan Bu Nyai, dan alhamdulillah tamunya setuju. Nah, menurut Bu Nyai bagaimana kalau kamu saja yang menggantikan Bu Nyai?”
            “Menawi ustadzah yang lain pripun Bu Nyai?”
”Sudah, kamu saja. Nanti sama Ning Farah juga toh kamu kan teman dekatnya Ning Farah. Nanti biar Gus Raden yang mengantar kalian. Bu Nyai percaya sama kalian”
Jdeg! Apa ini gusti? Kiki mohon buang jauh-jauh perasaan ini agar hati hamba tidak terusik oleh perasaan ini. Aku tertunduk, tidak mampu menolak permintaan beliau.
            “Ya sudah, kamu mau kan nduk? ”
Masih tertunduk tak mampu mengangkat dagu dan menganggukkan kepala. Bu Nyai menatap lekat wajahku, dan aku pun mengangguk pelan.
            ”Ya sudah, kamu istirahat. Bu Nyai yakin kamu sanggup” Aku mengangguk permisi pergi dari hadapan beliau.
Saat di depan pintu… Jdeg !
 ”Astaghfirullah ! Ngapunten gus saya ndak lihat barusan menawi ada Gus Raden” Gus Raden mengangguk pelan keraguan.
            2 bulan berlalu dan Kamis sore ini merupakan pertemuan ke 10 pengajian di desa sebelah.
            ”Ustadzah, Ning Farah sakit. Bu Nyai matur menawi pengajian ke desa sebelah ustadzah berangkat sama Gus Raden saja tidak usah Ning Farah”
            ”Loh! Apa tidak dibatalkan saja? Atau saya berangkat bersama ustadzah yang lain?”
            ”Saya kurang tau, ustadzah. Ustadzah langsung menghadap Bu Nyai saja”
            ”Oh, ya sudah. Terimakasih ya, nduk ?
            ”Iya Ustadzah, sama-sama”
Ku bergegas menghadap Bu Nyai menuju kamar Ning Farah
            “Assalamu’alaikum….”
            “Wa’alaikumsalam… Nduk, Ning Farah sedang sakit. Kamu berangkat sendiri saja sama Gus Raden. Kalau dibatalkan kasihan warga yang sudah menunggu ”
            ”Ngapunten Bu Nyai, menawi sama ustadzah yang lain bagaimana ? Soalnya saya tidak enak menawi hanya dengan Gus Raden ” saranku.
            ”Tidak usah, biar kamu saja sama Gus Raden. Kan ustadzah yang lainnya harus mempersiapkan untuk pengajian nanti malam. Bu Nyai percaya sama kalian. Yah sudah, sana berangkat! Gus Raden sudah menunggu di mobil sedari tadi”
            ”Inggih Bu Nyai”
            Mobil berwarna abu metalik itu keluar dari halaman pondok. Kulihat banyak mata-mata iri. Desas-desus mengakar ada hubungan khusus antara aku dengan Gus Raden. Ya Allah, jagalah hati dan perasaan ini dari sesuatu yang tak engkau ridhoi.
            Pengajian sore ini terasa begitu cepat. Mobil berwarna abu metalik pun perlahan keluar dari perkampungan
            ˮTiga bulan lagi dik Farah sudah mau menikah. Kapan kamu mau menyusulnya, Ki ? ˮ tanya Gus Raden tiba-tiba
            ˮdalem gus ? ˮ tanyaku linglung
            ˮkamu kapan mau menikah ? ˮ
            ˮBelum memikirkan hal itu, gus. Insyaallah masih lamaˮ
            ˮsudah ada calon?ˮ
            ˮbelum, gusˮ
            ˮkalau aku yang jadi calonmu, bagaimana? ˮ candanya
Aku terpaku, menatap lekat wajah dibalik cermin itu lalu kami tertawa kecil.
            ˮBecanda, ki. Tapi kalau kamu mau aku siap jadi calon imammuˮ dan senyum kecilku mewakili perasaan itu.
***
            ˮTidak, Raden ! Kamu boleh mencintai wanita lain untuk kamu jadikan sebagai calon istrimu. Tapi umi mohon jangan Kikiˮ
            ˮKenapa umi? Bukankah Kiki juga belum dikhitbah oleh pemuda lain?ˮ
            ˮUmi minta, belajarlah mencintai wanita lainˮ
            ˮTapi hanya Kiki yang bisa membuat hati ini luluh, umiˮ
            ˮMonggoh kerso  kalau kamu masih mau nurut sama umi.ˮ
            Jdeg ! Pintu ini menjadi saksi tetes air mataku. Ya Allah… Kuatkanlah hati hamba. Tak seharusnya hamba memiliki perasaan seperti ini, berharap lebih kepada langit biru, sedang diri ini bukanlah siapa-siapa. Maafkan hamba, tak sharusnya hamba sedih seperti ini, karena hamba sadar terlalu jauh untuk itu.
            Pengajian sore ini tetap berjalan seperti biasanya. Di dalam mobil tampak wajah penuh diam, tak ada sahutan-sahutan kecil. Hanya ada tatapan kecil yang tak begitu lekat memandang, kemudian pandanagan itu terlemapar ke sudut jalan.
***
            ˮIya, Bah ! Andaikan dulu saat Kiki dan Raden masih kecil umi tidak juga menyusui Kiki, mungkin sekarang Kiki sudah menjadi calon menantu kita. Betapa bahagianya umi ketika memiliki menantu seperti Kiki, Bah.ˮ
            ˮSudah, umi. Jangan menyesali diri. Andaikan dulu umi tidak menyusuinya mungkin kita tidak bisa melihat Kiki tumbuh dewasa seperti sekarang. Biarlah takdir Allah yang menjawab semuanya. Allah sudah memepersiapkan rencana indah untuk kita semua. Kita doakan semoga mereka mendapat jodoh yang terbaik dari Allah SWT. ˮ
            ˮIya, Bah… Aamiin….ˮ
Kreeekk….
            ˮLoh, Kiki ? ˮ
            ˮNgapunten Bu nyai. Kiki hanya mau mengantar titipan dari Mbak Muti’ah, jahitannya sudah selesai. Kalau begitu Kiki pamit Bu Nyai.ˮ
            ˮTunggu, nak! ˮ tahan beliau ˮApakah kamu mendengar pembicaraan Bu Nyai dengan abahnya Gus Raden barusan ? ˮ
            Aku hanya mengangguk, tertunduk menahan jatuhnya bendungan air mata ini. Beliau memelukku, meneteskan air matanya di pundakku. Hangatnya pelukan itu sehangat dan sedamai pelukan seorang ibu. Separuh jiwaku serasa ada dalam diri beliau.
            ˮMaafkan umi, nak. Umi terlambat menjelaskan semuanya. Umi terlalu mengulur waktu hingga akhirnya kalian jatuh pada perasaan yang tidak seharusnya kalian miliki.ˮ
            ˮWah, ada apa ini umi ? Kok Raden tidak dipeluk juga ? ˮ Tanyanya dari sudut ruangan.
            Pelukan itu terlepas pelan, senyum itu terlukis indah untuk Gus Raden. Bersamaan dengan itu tangan beliau menghapus air mata di pelupuk mataku.
            Maafkan aku yang telah mencintaimu. Tak seharusnya perasaan ini menyelimuti kalbu. Kau dan aku satu, tapi tidak untuk bersatu.
End…

Postingan populer dari blog ini

Inilah sosok KH. Abdul Hannan Manggisan Tanggul Jember

5 tangga menuju taqwa, pengajian Jumat sore kitab Nashaihul Ibad pondok pesantren putri As Sholchah Warungdowo

Unik dan kreatif ! Kostum gerak jalan MA As Sholchah 2019