SEJARAH KYAI ABDUL DJALIL BIN FADHIL
SEJARAH KYAI ABDUL DJALIL BIN FADHIL
Diambil Menantu Kiai Nawawie dan menjadi pengasuh pondok pesantren sidogiri.
Setelah beberapa tahun nyantri di Sidogiri, Abd. Djalil bermaksud boyong. Nah, saat minta restu Kiai Nawawie, ia ditawari menikah dengan putri beliau, Nyai Hanifah. Dengan persetujuan keluarganya, Abd. Djalil mengiyakan.
Menurut satu cerita, Kiai Nawawie mengambil menantu Abd. Djalil disamping karena kewara’annya. Juga dilatarbelakangi kejadian yang agak aneh. Pada suatu malam, ketika semua santri terlelap tidur, Kiai Nawawie sambil wiridan berjalan-jalan melihat keadaan santri. Di tengah deretan bilik yang dilalui, beliau dikejutkan oleh cahaya yang memancar dari salah seorang santri yang sedang tertidur. Namun, karena keadaan gelap, beliau kesulitan untuk mengenal santri yang memancarkan sinar itu. Kiai Nawawie lalu mengikat sarung anak yang memancarkan cahaya tersebut.
Keesokan harinya, sehabis menunaikan salat Subuh berjamaah, Kiai bertanya siapa yang sarungnya terikat tadi malam. Ada yang menjawab “Djalil, Kiai.” Lalu dipanggillah Kiai Djalil ke dalem dan ditawari untuk ditunangkan dengan Nyai Hanifah, putri pertamanya. “Koen dhe’ kene ta’ pe’ mantu, ya’opo? (kamu di sini saya jadikan menantu saya, bagaimana)?” Kiai Djalil pun mengangguk.
Karena sudah ditunangkan, Kiai Djalil yang awalnya bermaksud boyong, malah dimondokkan ke Mekah oleh Kiai Nawawie. Di tanah suci itulah ia berguru kepada tokoh ulama ‘allâmah selama dua tahun.
Diberi Amanat Menjadi Pengasuh
Jumat 25 Syawal 1347 H, Kiai Nawawie wafat, menghadap Allah SWT. Kabar ini pun kemudian sampai pada Kiai Djalil yang sedang berada di Mekah, dan beliau diminta pulang untuk menggantikan Kiai Nawawie mengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
Awalnya Kiai Djalil keberatan dan meminta Kiai Abd. Adzim (juga menantu Kiai Nawawie) yang diangkat. Namun Kiai Abd. Adzim juga tidak bersedia. Maka akhirnya, Kiai Abd. Djalil menerima amanat berat itu, melanjutkan perjuangan Kiai Nawawie mendidik santri menjadi generasi handal.
Dalam menjalankan tugas sebagai Pengasuh, Kiai Djalil mengikuti pola sekaligus meneruskan tradisi yang telah dirintis oleh Kiai Nawawie. Pengajian kitab yang dibaca Kiai Nawawie dilangsungkan aktif. Khataman kitab Tafsir pada setiap bulan Ramadan juga dilestarikan. Hingga ada ungkapan, “Masa Kiai Djalil tak ubahnya adalah masa Kiai Nawawie.”
Hampir selama 12 tahun Kiai Djalil memangku Sidogiri. Dalam masa itu pula, beliau mempersiapkan putra-putra Kiai Nawawie yang masih kecil-kecil agar siap menjadi Pengasuh. Praktis, semua putra Kiai Nawawie diasuh dan dibesarkan oleh Kiai Djalil.
Beliau sendiri pernah bilang, “Aku iki duduk Kiai Sidogiri, sing Kiai iku wong limo iku. (Saya ini bukan Kiai Sidogiri, yang jadi Pengasuh ya lima orang itu, putra-putra Kiai Nawawie).”
Mendirikan Madrasah
Pada saat beliau memangku pondok, sistem belajarnya adalah sistem sorogan, belum ada pendidikan madrasahnya. Karena murid semakin banyak, lalu ada yang mengusulkan untuk mendirikan madrasah. Mulanya Kiai Djalil kurang setuju dengan usulan tersebut. Di antara pertimbangan Kiai Djalil saat itu, khawatir sisa-sisa kapur tulisan al-Quran di papan tulis itu akan mudah diinjak. Dalam pandangannya, sisa-sisa kapur tulisan al-Quran itu masih dianggap al-Quran.
Namun karena santri semakin banyak dan tidak memungkinkan ikut mengaji, akhirnya Kiai setuju. Kebetulan saat itu memang sudah ada salah seorang guru tugas dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, namanya Nahrowi, yang mengajar di kamarnya dengan sistem seperti madrasah yang ada di Tebuireng. Namun kiai tetap mewanti-wanti supaya tetap berhati-hati. Sebisanya sisa kapur penulisan alQur’an tidak diinjak.
Tanggal 14 Shafar 1357 atau 15 April 1938, madrasah tingkat Ibtidaiyah resmi didirikan dengan nama “Madrasah Miftahul Ulum”, biasa disingkat MMU. Nama itu merupakan hasil istikharah Kiai Djalil. Pada awal-awalnya, gedung belajar murid diletakkan di Surau G, masjid, dan dalem Kiai Sa’doellah.
Dalam perjalanannya, MMU terus mengalami kemajuankemajuan. Pada bulan Dzul Hijjah 1378 H atau Juli 1957 M Madrasah Tsanawiyah didirikan. Lalu 25 tahun kemudian dibentuk madrasah Aliyah, tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1403 H atau 21 Oktober 1982 M.
Kini, perjalanan MMU sudah mencapai 72 tahun. MMU sudah mempunyai 4 jenjang pendidikan: Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), Aliyah (3 tahun), dan Isti’dadiyah (sekolah persiapan bagi santri baru selama 1 tahun).
Madrasah yang dirintis Kiai Djalil ini sekarang sudah mempunyai cabang yang tersebar di Kabupaten Pasuruan, Madura, dan daerah Tapal Kuda. Madrasah ranting di Pasuruan disebut Tipe A, sebanyak 69 di tingkat Ibtidaiyah dan 15 di tingkat Tsanawiyah. Sedangkan yang di luar Pasuruan disebut Tipe B, sebanyak 32 di tingkat Ibtidaiyah dan 11 di tingkat Tsanawiyah. Seluruh ranting berjumlah 127. Jumlah keseluruhan murid MMU, induk dan ranting, mencapai sekitar 25 ribu dengan tetap mempertahankan tradisi pesantren salaf.